Lombok, Matur Tampi Asih
Fieldtrip kedelapan Rumah Sekolah Cendekia tahun ini membawa 26 siswa dari kelas 4, 5 dan 6 ke Pulau Lombok dan Bali. Cuaca malam yang gerimis tak menyurutkan langkah dan semangat mereka. Berangkat dari Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar mereka siap berpetualang. “Teeeettttt…”, suara klakson kapal berbunyi panjang menandakan kapal telah lepas jangkar dan mulai berlayar.

Diatas kapal, anak-anak belajar beradaptasi. Ombak laut yang membuat mabuk, kondisi kapal yang ramai dengan penumpang lain, perjalanan jauh dari rumah dan orangtua, serta semua hal yang baru mereka alami. Hal tersebut menjadi latihan ketahanan diri, belajar bersabar dan berproses. Guru-guru pendamping pun memberi berbagai aktifitas menyenangkan seperti mendengar cerita tentang Gunung Sangiang, membuat hiasan kepala untuk penampilan di Lombok hingga melakukan tour kapal bertemu para awak kapal dan mengenal berbagai alat-alat perkapalan seperti teropong, radar, peta elektronik, echo sounder, alat kemudi dan masih banyak lagi.

Akhirnya setelah dua hari dua malam berlayar di atas KM Tilongkabila, sampailah di Pelabuhan Gili Mas, Lombok. Hujan deras turun sesaat sebelum bus melaju mengantarkan rombongan menuju penginapan.
Pagi hari, matahari bersinar cerah. Anak-anak bangun dengan ceria. “Assalamu Alaikum. Selamat pagiii!.” Seru Ayesha dan Dzakiyyah yang menjadi pasangan reportase hari pertama di Lombok. Ya, Fieldtrip kali ini menjadi kesempatan semua siswa untuk menjadi reporter. Tugasnya melaporkan kegiatan di setiap destinasi. Tujuannya melatih komunikasi, kerjasama dan rasa percaya diri anak.

Bersama Bajang Dirman, tour guide di Lombok, petualangan mereka pun di mulai. Destinasi pertama adalah sebuah desa yang menjadi sentra kerajinan gerabah di pulau Lombok. Desa Banyumulek namanya. Anak-anak tak hanya melihat gerabah-gerabah cantik yang sudah di cat warna warni menjadi piring, mangkok, panci, vas Bunga, cangkir, hiasan dinding, kendi tetapi anak-anak juga belajar membuat gerabah. Jari-jari mereka lentur membentuk tanah liat dan air menjadi karya yang bisa di bawa pulang.
Lanjut ke Destinasi berikutnya yakni Desa Sukarara. Kain halus bersulam benang emas menjadi ciri khas hasil tenun di desa ini. Selain melihat langsung pembuatan kain tenun, Anak-anak juga mencoba memakai pakaian tradisional khas Lombok dan berfoto diatas rumah adatnya. Didesa ini juga dijual berbagai kerajinan dari kain tenun seperti dompet, baju, selendang, tas, topi dan aksesoris.

Usai makan siang, perjalanan berlanjut ke Desa Adat Ende. Desa yang masih kental mempertahankan budaya suku sasak yakni suku asli masyarakat Lombok. Anak-anak melihat langsung rumah suku sasak yang beratap alang-alang, berdinding anyaman bambu, berlantai semen yang terbuat dari bahan kotoran sapi yang dikeringkan, bahkan masuk ke dalam rumah adatnya yang sangat sederhana. Di desa ini pula, ada atraksi unik bernama Perisaian. Aksi adu ketangkasan pemuda desa yang menarik rasa penasaran anak-anak hingga mereka ikut ke arena melakukan atraksi tersebut. Badran dan Ezha menjadi aktor yang memukau dan menghibur semua penonton. Salah satu pengalaman paling seru dan paling berkesan di Lombok.

Bus melaju meninggalkan desa menuju destinasi berikutnya. Di Lombok, jalan-jalan tertata rapi dan bersih, di kejauhan terlihat gunung-gunung indah dan biru, hamparan pematang hijau yang dikelilingi berbagai tumbuhan, beberapa kali nampak pula para petani di kebun yang sedang memetik jagung.

Sebagai salah satu kebanggaan pulau Lombok, tak afdol rasanya jika tidak ke Sirkuit Mandalika. “Ayo kita mampir ke Sirkuit Mandalika untuk berfoto.” Seru bajang Dirman yang disambut sorak anak-anak.

Pelabuhan Teluk Nare pun telah menanti. Ya, rombongan akan menyebrang ke Gili Trawangan dan menuju Chili House. Perjalanan cukup jauh ditempuh. Beberapa anak menikmati istirahatnya, sebagian anak memanjakan matanya dengan memandangi panorama yang langka. Melewati jalan berkelok, Ada Pantai Senggigi dengan pasir putihnya, lahan luas dengan barisan pohon kelapanya, juga hotel-hotel dengan bangunan berkonsep unik diatas bukit. Matahari hampir terbenam saat perahu speed boat merapat ke Pantai Gili Trawangan.

Sampai di Chili House, rombongan istirahat dan makan malam. Ayam bakar dengan sambel khasnya menjadi suguhan istimewa. Disini anak-anak memberikan persembahan. Anak-anak laki-laki menampilkan tari ganrang bulo, lengkap dengan Passapu di kepala mereka. Secara harfiah, Gandrang Bulo memiliki arti tarian yang diiringi oleh tabuhan gendang dan bambu. Secara mendalam, tarian ini merupakan warisan budaya khas Makassar yang tercipta sebagai wujud perjuangan para seniman melawan para penjajah. Adapun penampilan anak-anak perempuan bernyanyi lagu mars Cendekia dengan bando ala hiasan pakaian adat Sulawesi Selatan.

Pagi hari yang hangat. Suasana Chili House makin terlihat. Ada perpustakaan, Ada ruang-ruang kelas berisi origami, kertas gambar, puzzle, crayon, dan berbagai karya sederhana dari sampah yang di daur ulang. Ada pula mini playground dan aula. “Chili House adalah sebuah sekolah yang memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak di Gili Trawangan.” Kata Ain Hussin, pendiri Chili House yang kemudian lebih senang dipanggil Tante Ain oleh anak-anak.

Berjalan kaki ke pantai memberi kesempatan anak-anak melihat suasana Gili Trawangan yang berbeda. Ada banyak bule alias orang asing yang berlalu lalang dan bersepeda. Ada pula Cidomo, kendaraan beroda dua terbuat dari kayu yang ditarik oleh seekor kuda. Ada banyak penjual aksesoris dan souvenir khas Gili Trawangan dipinggir jalan. Dan tak kalah unik adalah bangunan-bangunan berupa toko-toko dan penginapan yang didesain dengan cita rasa seni yang tinggi.

Tiba di pantai, tepatnya di depan Mesjid Agung Baiturrahman, anak-anak sudah tak sabar dengan tantangan games dari Tante Ain. Setelah misi diberikan, kelompok anak bersama guru pendamping menyebar. Menelusuri jalan-jalan sekitar pantai, melakukan misi dengan antusias, saling bekerja sama agar misi selesai dengan baik. Dari jauh, terlihat Kalila sedang mengobrol dengan seorang wanita bule, Echa sedang berjabat tangan dengan seorang anak dari Australia. Di pasar, tampak Tsaqib sedang menanyakan harga sayuran, lalu ada kelompok Niarengi yang mengumpulkan sampah-sampah di sekitar pantai untuk siap di pilah menjadi kreasi menarik.

Waktu habis, semua kelompok berkumpul dan menyetor tugasnya. Poin tertinggi pun di raih oleh kelompok Tsaqib dan kawan-kawan.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, anak-anak berlarian ke bibir pantai dan menceburkan diri. Berenang di pantai. Tak peduli sinar matahari yang terik, mereka bergembira dan bermain.

Setelah anak-anak bersih-bersih diri, rombongan pun kembali menyebrangi pantai menuju Teluk Nare. Di atas perahu speed boot, rombongan menikmati sejuk angin pantai, melihat bola-bola pelampung diatas air yang merupakan kawasan budidaya kerang mutiara, menatap dari jauh 3 pulau eksotis yakni Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air.

Langkah kaki anak-anak menuruni perahu diiringi lambaian tangan dan ucapan terima kasih untuk Tante Ain. Rombongan pun melanjutkan perjalanan ke pusat oleh-oleh di Lombok yaitu Sasaku Oleh-Oleh. Tempat ini nyaman dan luas. Konsep all in one menjadi keunikan toko ini. Dimana segala jenis oleh-oleh ada disini mulai dari camilan, kaos, tas, topi, aksesoris, mainan, hingga perhiasan mutiara. Ada juga resto, mushalla dan toilet di toko ini. Setelah berburu oleh-oleh, kantong belanja sudah ditangan dan siap dibawa pulang untuk keluarga tercinta.

Hari hampir sore, kumandang adzan terdengar dari corong-corong masjid. Ya, Lombok juga terkenal dengan julukan Pulau Seribu Masjid. “Di Lombok ini, hampir di setiap sudut jalan ada masjid.” Ujar Bajang Dirman yang senantiasa memaparkan semua tentang Lombok saat diatas bus.

Sebagai destinasi terakhir di Lombok, rombongan menuju Masjid termegah dan terbesar ketiga se-Asia Tenggara yaitu Islamic Center Lombok. Masjid unik dengan desain motif batik Sasambo khas Lombok di kubahnya. Menaranya setinggi 99 meter yang melambangkan 99 Asmaul Husna. Disini, rombongan sholat ashar.

Langit jingga menyambut di Pelabuhan Lembar, Lombok. Kapal Ferry sudah siap. Ransel kembali kokoh di punggung melintasi jembatan pelabuhan dan rombongan pun meninggalkan pulau Lombok menuju Pulau Seribu Pura, Bali.

Matur Tampi Asih. Terima Kasih, Lombok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *